Quo Vadis Pemilu 2024?

Oleh: Taufik Umri

Sejarah Pemilu
Berangkat dari catatan sejarah Indonesia sudah dua belas kali (12) menggelar pemilihan umum (Pemilu). Pemilu pertama digelar tahun 1955 saat Orde Lama berkuasa, kemudian enam (6) kali digelar (1971-1997) pada masa orde baru dan lima kali (5) dilaksanakan (1999-2019) di era reformasi.

Setiap pelaksanaan pemilihan umum memiliki sejarah dan makna sesuai dengan kondisi dan keadaanya. Zaman orde lama pasti berbeda dengan masa orde baru dan era reformasi bisa dikatakan sebagai anti tesa dari masa orde baru. Dari perbedaan yang ada, akan ditemukakan benang merah dari esensi pemilu dilaksanakan.

Pemilu pertama dilaksanakan pada tahun 1955 dengan keterlambatan masa pelaksanaan. . Seharusnya setelah ditetapkanya Presiden Soekarno dan Muh. Hatta menjadi presiden dan wakil presiden 18 Agustus 1945 harusnya pemilu segera digelar. Tetapi disebabkan instabilitas nasional mengakibatkan pemilu “molor” sampai sepuluh tahun.

Keterlambatan pelaksanaan pemilu secara umum dikarenakan tiga hal. Pertama, Mempertahankan Kemerdekaan. Meskipun Indonesia sudah berdiri menjadi negara berdaulat, pemerinah Belanda tetap masuk melakukan agresi sehingga kondisi Pemerintahan saat itu tidak terkendali dan tidak mungkin pemilu dapat berlangsung.

Kedua, kondisi keamana dan ekonomi yang tidak stabil. Gempuran Belanda mengakibatkan keamanan Indonesia semakin merosot, hal ini tentu berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi.

Pada awal kemerdekaan Indonesia merdeka kondisi ekonomi sangat buruk. Terjadi hiperinflasi atau terjadi kenaikan harga-harga yang sangat ekstrim. Salah satu penyebabnya beredarnya lebih dari satu mata uang yang tidak terkendali.

Saat itu, pemerintah Indonesia menyatakan terdapat tiga mata uang yang berlaku. Mata uang De Javasche Bank (DJB), mata uang pemerintah Hindia Belanda dan mata uang pendudukan jepang juga diakui. Lemahnya perekonomian tidak memungkinkan pemilu dilaksanakan.

Ketiga, kekosongan regulasi. Penyebab yang ketiga pemilu tertunda sampai sepuluh tahun karena tidak ada satu regulasi atau peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemilihan umum.

Di tengah kondisi negara yang tidak menentu dan tekanan ekonomi yang menjepit sulit menyusun peraturan tentang pemilihan umum.
Mulai pulihnya kondisi keamanan negara dan menguatnya ekonomi pemerintah Indonesia, barulah tahun 1955 digelar pemilu pertama.

Pemilihan ini dilakukan sebanyak dua (2) kali. Pemilu pertama diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota Dewan perwakilan rakyat. Sedangnkan pemilu kedua digelar pada tanggal 25 Desember 1955 memilih anggota konstituante.

Pemilu pertama ini dimenangkan oleh partai Nasional Indonesia (PNI) sebesar 23,97%, diikuti dengan partai Masyumi 20,59%, urutan ketiga ada Nahdlatul Ulama dengan perolehan angka sebesar 18,47%.

Pemilu pertama ini berjalan dengan baik, bahkan banyak pengamat politik dan pakar hukum tata negara mengatakan bahwa pemilu 1955 adalah pemilu terjujur pernah ada sampai saat ini.

Pemilu kedua dilaksanakan pada tahun 1971. Ada jarak yang sangat panjang pelaksanaan antara pemilu pertama dengan pemilu kedua, kondisi ini disebabkan situasi politik dalam negeri yang mengalami pasang surut.

Disharmoni antara elit politik, kebijakan pola pembangunan yang kurang seragam, sampai terjadi pemberontakan di berbagai daerah mengakibatkan penyelenggaraan pemilu ditunda.

Enam belas (16) tahun lamanya jarak pemilu pertama dengan pemilu kedua.
Pemilu kedua ini dilaksanakan oleh pemerintahan Presiden Soeharto setelah mendapatkan mandat dari hasil sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada tanggal 27 Maret 1968.

Salah satu amanah MPRS saat itu agar pemerintah yang baru melakukan percepatan pemilihan umum. Pada tanggal 5 Juli 1971 pemilu kedua digelar dengan menggunakan sistem yang berbeda dengan pemilu pertama. Pemilu kedua menggunakan sistem berimbang stelsel daftar mengikat.

Maksudnya dari sistem ini adalah besarnya kekuatan perwakilan organisasi dalam DPR dan DPRD berimbang dengan besarnya dukungan pemilih yang memberikan suaranya kepada organisasi peserta pemilu atau partai politik. Pemilu kedua ini diikuti oleh sepuluh (10) partai politik. Golongan Karya (Golkar) keluar sebagai pemenang dengan perolehan suara sebanyak 34.348.672 yang disusul dengan NU, PNI dan Parmusi. Adapun landasan pemilu tahun 1971 merujuk pada UU No.15 tahun 1969.

Pemilu ketiga dilaksanakan tepat waktu, bahkan pemilu ketiga ini menjadi standar pelaksanaan pemilu dilaksanakan on time (lima tahun sekali).

Pemiliu tahun 1977 dilaksanakan secara serentak pada tanggal 2 Mei 1977. Pemilu digelar memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah.

Menariknya pada pemilu kali ini peserta pemilu hanya terdiri dari 3 partai. Seluruh partai yang pernah terlibat dalam perhelatan pemilu melebur menjadi satu berdasarkan mazhab, ideologi dan garis gerakan partai masing-masing.

Misalnya Nahdlatul Ulama (NU), PARMUS, PERTI, PSII melebur kedalam rumah besar PPP. Sedangkan PNI, Parkindo, Partai Katolik masuk kedalam PDI. Dan Partai IPKI dan Muba bergabung menjadi Golkar.

Pada pemilu ketiga Golkar menjadi pemenang dengan perolehan suara 39.750.096 (62,80%), kemudian diikuti oleh Partai Persatuan Pembangunan 18.743.491 (27,12%). Dan sebagai juru kunci PDI mendapatkan suarat 5.504.757 (10,08%).

Pemilu tahun 1982 sampai 1997 hampir sama dengan pemilu 1977. Pemilu ini hanya memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara berjenjang dan memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah (utusan golongan dan utusan daerah).

Setiap pemilu dimenangkan oleh partai Golkar. Sedangkan pemilihan presiden dilakukan dengan cara dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat yang terdiri dari DPR dan DPD melalui sidang umum MPR.

Pemilu kedelapan (8) dilaksanakan pada tahun 1999 persis setelah dua (2) tahun pemilu digelar. Percepatan pemilu ini dikarenakan presiden Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden dan digantikan oleh presiden Habibie.

Orde Baru yang telah berkuasa selama tiga puluh dua (32) tahun digantikan dengan era reformasi, dimana rakyat menginginkan perubahan di segala bidang kehidupan.

Pemilu digelar pada 7 Juni 1999 diikuti oleh 48 partai politik. PDI keluar menjadi pemenang pemilu. Dari 48 partai yang mengikuti pemilu hanya 21 partai yang mendapatkan kursi di DPR.

Penyelenggaraan pemilu tahun 2004 memasuki babak baru dalam sistem pemilihan calon presiden dan wakil presiden. Jika pemilu sebelumnya presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melalui sidang umum MPR di Senayan, untuk pemilu tahun 2004 presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat.

Pemilu ini diselenggarakan pada pada tanggal 5 April tahun 2004 untuk pemilihan DPR, DPD dan DPRD, sedangkan pemilihan presiden dan wakil presiden dipilih pada tanggal 5 Juli 2004 untuk putaran pertama dan 20 September.

Untuk putaran kedua. Pemilihan presiden dimenangkan oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Yusuf Kalla (JK) saat itu.
Pemilu Tahun 2009 Tidak banyak perbedaan dengan pemilu tahun 2004.

Hanya ada beberapa ketentuan yang berubah. Pertama parliamantary trheshol yang awalnya ditetapkan sebesar tiga persen (3%) dari perolehan kursi di senayan, turun menjadi 2,5 persen (2,5%).

Kedua, sistem penetapan pemenang calon presiden dan wakil presiden terpilih ditetapkan jika perolehan suara pasangan calon presiden terpilih mendapatkan lima puluh persen (50%) dari jumlah suara dengan dua puluh persen (20%) suara tersebar di lima puluh persen (50%) provinsi yang ada di Inodesia.

Pemilu ini diikuti oleh 38 partai politik dan hanya 9 partai politik yang lolos parliamantary trheshol (ambang batas) (Demokrat, Golkar, PDI-P, PKS, PAN, PPP, PKB, Gerindra dan Hanura).

Presiden dan wakil presiden terpilih yaitu Susilo Bambang Yudhoyono dan Budiono.
Pemilu tahun 2014 dilaksanakan tepat waktu. Pemilihan DPR, DPD dan DPRD dilaksanakan pada tanggal 9 Arpil 2014 sedangkan pemilihan presiden digelar pada tanggal 9 Juli 2014.

Pemilu saat itu diikuti oleh 15 partai politik, dimana tiga di antara peserta pemilu dari partai politik dari partai lokal Aceh. Dari seluruh partai politik yang mengikuti pemilu hanya 10 partai politik yang melewati parliamantary trheshold tiga koma lima persen (3,5%).

Jokowi dan Yusuf Kalla keluar menjadi pemenang dan ditetapkan sebagai presiden dan wakil presiden.
Pemilu tahun 2019 digelar tanggal 17 April. Terdapat empat beas (14) partai politik yang berkontestasi. sepuluh (10) partai nasional dan empat (4) partai lokal Aceh. Tetapi hanya 9 partai yang lulus parliamantary threshold (PDI-P, Golkar, Gerindra, PKB, NasDem, PKS, Demokrat, PAN dan PPP).

Pemilu tahun 2019 hanya diikuti dua pasangan calon yaitu Joko widodo-Ma’ruf Amin dan Parbowo-Sandiaga S. Uno. Pasangan joko widodo dan Ma’ruf Amin ditetapkan sebagai presiden dan wakil dengan perolehan suara sebesar 55,50% (85.607.362 suara), sedangkan Prabowo-Hatta memperoleh suara sebanyak 68.650.237 (44,50%).

Dari rentetan sejarah pemilu pertama sampai pemilu terakhir tahun 2019, Indonsia harusnya sudah percaya diri untuk menggelar Pemilihan Umum tepat waktu yang akan menghasilkan pemilu yang berkualitas di tahun 2024.

Sebab fluktuasi kondisi pemilu tahun-tahun sebelumnya dapat dijadikans sebagai pelajaran dan kekuatan dalam merumuskan pemilu yang akan datang. Lika-liku sejarah digelarnya pemilu dapat dijadikan Ibroh (pelajaran) mengukir kesuksesan pemilu yang akan datang.

Pemiliahan umum sebagai sarana demokrasi dalam menentukan kekuasaan harus on the track dengan cita-cita bangsa Indonesia. mengutip Radian syam dalam bukunya masalah hukum pemilu (konsep dan analisis kasus) dijelaskan bahwa pemilu bukan sekedar soal prosuderal, di dalamnya ada daulat rakyat yang harus dijaga.

Oleh karena itu pagelaran pemilu harus terintegrasi dengan spirit perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Sekali pemilu keluar dari lintasan sejarah, maka pemilu tidak akan menemukan out put dari makna pemilu yang sesungguhnya yaitu tegaknya kedaulatan rakyat.

Sistem Pemilu

Pentingnya memilih sistem pemilu yang kompatibel akan membawa konsekuensi terhadap proporsionalitas hasil pemilihan umum. Memang harus disadari bahwa tidak satu sistem pemilu lebih unggul dari sistem pemilu lainnya, karena sistem pemilu memiliki variabel yang dinamis dan tidak kaku.

Bahkan Undang-Undang Dasar 1945 tidak mematok sistem pemilu apa yang harus dipakai saat pemilu. Semua diserahkan kepada penyusun Undang-Undang, sistem apa yang paling mendekati tegaknya kedaulatan rakyat saat pemilihan umum berlangsung. Intinya, sistem pemilu ideal saat pengutan partai politik dan tegaknya kedaulatan rakyat berjalan secara simultan. Ini yang menjadi takaran sebuah sistem pemilu.

Banyak pakar yang mendefeniskan tentang sistem pemilihan umum, padahal sistem Pemilu pada dasarnya merupakan metode atau cara dalam memilih seseorang untuk mengisi jabatan politik yang diinginkan.

Dari defenisi yang bervariasi Gallagher dan Mitchell menjelaskan bahwa sistem pemilu merupakan sekumpulan aturan yang menstruktur bagaimana suara diberikan pada pemilu untuk wakil rakyat dan bagaimana suara ini dikonversi menjadi kursi ke dalam lembaga perwakilan rakyat.

Artinya sistem pemilu dapat dijelaskan secara sederhana bahwa seluruh aturan main tentang pelaksanaan pemilihan umum dikelompokkan ke dalam sistem pemillu.

Setiap sistem pemilu yang digunakan disebuah negara yang berorientasi kepada penegakkan kedaulatan harus memiliki kriteria, sehingga sistem pemilu dapat lebih cocok terhadap para pengguna (negara) sistem itu sendri.

Ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan rujukan sebagai sistem pemilu di setiap tempat.

  • Pertama, sistem pemilu harus menjamin representasi politik. maknanya sistem pemilu yang diterapkan harus mudah diakses dan mengandung keterlibatan semua orang.Setiap orang harus terlibat saat tanpa ada yang boleh tertinggal seorang pun dalam pelaksanaanya.
  • Kedua, sistem pemilu harus menjamin bahwa hasil yang akan dihasilkan dari pemilu adalah pemerintah yang efisien, efektif dan stabil. Sebab aspirasi dan kebutuhan rakyat terhadap kedaulatan harus tercermin dari pemerintah.
  • Ketiga, ongkos pelaksanaan. Sisi pembiayaan penyelenggaraan pemilu harus termanajemen dengan baik, jangan sampai sistem yang diterapkan merogoh anggaran yang begitu besar karena akan berdampak terhadap keberlanjutan pola pembangunan sebuah negara.

Jika kita merujuk pada negara maju dan berkembang pasti memiliki sistem yang berbeda dalam penerapan sistem pemilu di setiapp masing-masing negara tersebut.

Prof. Kacung Marijan menegaskan bahwa berdasarkan negara yang pernah melaksanakan pemilihan umum dapat disimpulkan terdapat tiga sistem pemilu yang selalu dijadikan rujukan.

  • Pertama sistem pluralitas. Sistem ini sering juga disebut dengan sistem distrik. Dimana sistem pluralitas atau distrik merupakan sistem pemilu yang didasarkan atas kesatuan geografis, dimana setiap kesatuan geografis memiliki satu wakil dalam distrik-distrik pemilihan yang jumlahnya sama dengan jumlah anggota badan perwakilan rakyat yang dikehendaki. Jadi tiap distrik diwakili oleh satu orang yang memperoleh suara mayoritas. Negara yang mengadopsi sistem ini yaitu Inggris, Malaysia, India, dan banyak negara lain.Selanjutnya, ada sistem Proporsional. Sistem proporsional ialah sistem dimana persentase kursi di dewan perwakilan rakyat yang dibagikan kepada tiap-tiap partai poliltik disesuaikan dengan jumlah suara yang diperoleh tiap-tiap partai politik. Dalam sistem ini, setiap orang akan memilih partai politik bukan persorangan seperti sistem distrik. Memang hubungan pemilih dengan wakil-wakilnya di dewan perwakilan rakyat tidak seerat dalam sistem distrik. Sistem proporsional sendiri terbagi dua. Pertama proporsional tertutup, dalam sistem pemilu pemilik suara mencoblos/ mencontreng nama partai politik dan kemudian partailah yang akan menentukan nama-nama anggota dewan perwakilan rakyat (DPR). Biasanya penetapan calon anggota dewan terpilih sudah dapat dilihat dari nomor urut.
  • Kedua proporsional terbuka, kebalikan dari sistem proporsional tertutup. Setiap orang memiliki kesempatan untuk ditetapkan menjadi anggota dewan perwakilan rakyat (DPR) terpilih, karena setiap pemilik suara dapat langsung memberikan suaranya kepada calon legislatif yang ia inginkan. Dimana penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Nomor urut tidak lagi menentukan, bahkan “nomor sepatu” pun bisa terpilih menjadi anggota dewan perwakilan dengan catatan mendapatkan suara terbanyak saat pemilihan berlangsung. Adapun negara yang melaksanakan sistem ini yaitu Indonesia
  • Ketiga, sistem campuran (Mixed system). Sistem campuran merupakan kombinasi dari sistem distrik dan sistem proporsional. Sistem campuran menjadi jalan tengah dari kedua sistem tersebut. Diantara negara maju yang menggunakan sistem campuran adalah Itali dan Jerman. Adapun sistem pemilu yang lain tidak begitu familiar sehingga jarang dijadikan rujukan sebuah negara.

Pilihan sistem pemilu merupakan salah satu keputusan kelembagan yang paling penting bagi suatu negara. Pilihan sistem pemilu pada dasarnya lebih merupakan sebuah proses politik dan pertimbangan keunggulan politis hampir selalu menjadi faktor dalam pilihan sistem pemilu.

Perolehan jumlah suara pada pemilihan umum akan menjadi tolak ukur saat dikonversi menjadi kursi-kursi di parlemen. Selain itu juga perolehan suara dapat dijadikan modal kuat dalam negosiasi politik dalam pencalonan presiden dan kepala daerah bagi partai politik.

Indonesia sendiri sampai saat ini tetap istiqomah menggunakan sistem proporsioanal sebagai sarana pemilihan umum meskipun dengan variasi terbuka dan tertutup.

Dari tahun 1955-1999 sistem proporsional tertutup dianggap sebagai sistem yang tepat dijadikan penentu kekuasaan.

Sistem pemilu 2004 belum bisa dikatakan dengan proporsional terbuka tetapi masih disebut semi terbuka karena salah satu faktor penentu masih dipegang oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP) sebagai king maker penentu kebijakan.

Sistem pemillu semi terbuka diatur oleh UU N0.12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Aggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Sistem pemilu proporsional terbuka mulai dilaksanakan pada tahun 2009, karena sistem pemilu sebelumnya (semi terbuka dan tertutup) dianggap menabrak rasa keadilan dan tidak mengakomodir aspirasi dan keinginan rakyat sebagai pemilik mandat kedaulatan.

Sebagai negara yang sepakat menganut demokrasi partisipatoris (dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat) harusnya rakyat diberikan ruang lebih leluasa memilih dan menentukan wakil mereka.

Sistem proporsional tertutup dianggap sah hanya mewakili keinginan partai politik (parpol) juncto ketua umum partai politik.

Tiga kali pemilihan umum (2009, 2014, 2019) dengan sistem proporsional terbuka diterapkan, hasilnya sistem ini tidak juga dianggap sebagai “anti tesa” dari sistem sebelumnya.

Bahkan, cenderung menghasilkan masalah baru dalam sistem perpolitikan di Indonesia. Akibatnya, banyak pihak yang menilai dan memberikan pandangan bahwa sistem proporsioanal terbuka tidak relevan dipakai sebagai sistem pemilu pada tahun 2024. Sehingga banyak pihak yang melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar sistem pemilu tahun 2024 dubah.

Penulis tidak akan membawa pembaca kedalam berdebatan tentang pandangan bahwa sistem pemilu adalah open legal policy (kebijakan hukum terbuka) yang seharusnya penentuan sistem pemilu cukup diserahkan kepada pembuat undang-undang yaitu eksekutif dan legislatif tidak perlu sampai diputuskan di meja hakim MK.

Atau pandangan yang menyatakan bahwa sistem pemilu adalah bagian dari

constitutional policy (kebijakan konstitusional), sehingga perubahan sistem pemilu harus diputuskan di Mahkamah Konstitusi. Pandangan ini akan diulas dan bahas dilain kesempatan.

Dari banyak kelompok organisasi yang menginginkan adanya perubahan sistem pemilu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) dan Partai Bulan Bintang (PBB) merupakan partai yang secara terang-terangan kecewa dengan sistem proporsional terbuka dan ingin mengganti sistem pemilu yang akan datang.

Partai beraliran nasionalis dan Islam modernis ini menginginkan sistem pemilu kembali menjadi proporsional tertutup.

mayoritas pengusung yang menginginkan ditediterapkan kembali sistem proporsional tertutup berargumentasi bahwa saat ini partai politik kehilangan regenerasi politik. Kader yang dididik, dilatih dan disiapkan untuk memperjuangkan cita-cita partai yang sejalan dengan cita-cita negara “dibegal” di tengah jalan, karena sistem proporsional terbuka lebih mengandalkan popularitas dan “isi tas”. “kader comotan” yang lebih memiliki alat kelengkapan dengan modal keterkenalan dan finansial tanpa batas akan menggeser dan memenangkan pertarungan.

Sedangkan kader partai yang sudah tahunan, militan dengan keterbatasan alat kelengkapan hanya menjadi pelengkap kuota daftar calon tetap yang diusung partai politik. Berharap menjadi pemenang bagaikan pungguk merindukan rembulan.

Jika arus sistem pemilu seperti ini tetap dipertahankan, maka banyak kader militan hanyut diterjang tsunami politik uang dan popularitas.

Argumentasi selanjutnya tentang rendahnya kapasitas dan kulaitas peserta pemilu. Sistem proporsional terbuka lebih mengedepankan “selera pasar”. Setiap orang yang memenuhi selera pasar akan diburu dan direkrut, dipasang sebagai magnet suara.

Latar belakang pendidikan, pengalaman organisasi dan jam terbang tidak menjadi standar, selama memenuhi kualifikasi selera pasar pasti dipersilahkan maju berkontestasi.

Dampaknya, saat terpilih dan duduk di kursi kekuasaan bingung, tidak mengerti mau berbuat apa. Bahkan terkadang cara pandangnya paradoks dengan ide besar partai politik. Kondisi seperti ini sangat membahayakan kelangsung kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak mengerti masalah malah punya kuasa.

Alasan selanjutnya terjadii kooptasi partai politik. memang pada dasarnya partai politik menganut sistem tertutup, karena setiap partai memiliki idiologi, cita-cita dan harapan yang disebut dengan identitas politik yang kontras dengan identitas partai politik lain, meskipun tidak bisa dinafikan memiliki irisan dalam beberapa hal.

Setiap orang memilih partai karena menganggap partai memiliki idiologi dan cita-cita perjuangan yang sejalan dengan cita-cita yang mereka. Idiologi, cita-cita dan harapan partai akan “ditularkan” keseluruh kader partai melalui selang pengkaderan. Semakin sering mengikuti sekolah pengkaderan partai, maka semakin mengerti pola perjuangan partai tersebut.

Sehingga pada saat kader yang mengerti arti perjuangan partainya, ketika diamanahkan duduk di parlemen atau jabatan politik lainya dia mengerti melangkah sesuai khittoh perjuangan partai politik yang diusung.

Berberda dengan kader karbitan yang dicetak instan. saat duduk di lingkarann kekuasaan tanpa melewati sekolah pengkaderan yang matang, boleh jadi perjuangan dan argumentasinya bertolak belakang.

Hal ini disebabkan melompati sistem pengkaderan yang wajib untuk setiap anggota partai politik, ghiroh perjuangan partai tidak menyatu dalam kebijakan yang dilakukan.

Sedangkan aliran pendukung sistem pemilu dengan proporsional terbuka masih layak digunakan untuk pemilu 2024 memiliki pokok pikiran yang juga masuk akal. Pertama, rasa ketidakadilan. Sistem ini dianggap tidak memberikan kesempatan yang sama kepada warga negara, karena pemenang kontestasi pemilu sudah dikondisikan partai politik.

Pemilik suara terbanyak belum tentu otomatis menjadi pemeneng. praktek proporsional tertutup diistilahkan banyak orang ibarat

membeli kucing dalam karung. Tidak ada kepastian dan keadilan didalamnya.

Kedua, proporsional tertutup tidak merepresentasikan kedaulatan rakyat. Mestinya siapa yang diamanahkan rakyat pada pemilu maka orang tersebut yang berhak ditetapkan mewakili rakyat.

Bukan pemenang ditentukan oleh partai politik, karena partai politik harusnya hanya sebagai selang distribusi mengarahkan ke saluran yang tepat, bukan malah menjadi penentu. Ketiga, sistem proporsional tertutup melahirkan kembali feodalisme. Sistem proporsional tertutup menjadikan kader tidak memiliki hak otonom dalam melakukan akselesari, semua tertib berbaris dalam satu keputusan secara top-down.

Dari silang pendapat dalam menentukan sistem pemilu kedepan, penulis sendiri memberikan catatan dalam penerapan sistem pemilu kedepan. Pertama, sistem proporsional terbuka. Meskipun sistem ini sudah tiga kali dipakai pemilu dengan sistem propoposional terbuka juga belum mampu menunjukkan kematangan sebagai sistem pemilu.

Sistem proporsional terbuka malah menciptakan demoralisasi politik. demoralisasi politik diekspresikan dalam bentuk politik uang dan politik popularitas.

Politik uang yang dulunya tabu saat ini menjadi laku, paktek politik uang menjadi candu. Sistem proporsional terbuka lebih mengarah kepada transaksi jual beli dengan cara “cash and carry”, hasilnya ada uang pasti menang.

Setali tiga uang, politik popularitas juga menjadi indikator demoralisasi politik. mumpung terkenal dan populer pasti direktrut dan dijadikan bumper pendongkrak suara. Kemasan lebih diprioritaskan ketimbang isi. Esensi pemilu mengalami degradasi.

Proposional terbuka juga menciptakan “kegamangan politik”, artinya sistem kaderisasi dan screening tidak lagi prioritas. Siapa saja yang berpotensi mendongkrak elektabilitas akan didorong, kendatipun track record calon masih remang-remang dan buram.

Alasan ini dijadikan jalan cepat agar selamat dari gulungan parliamentary threshold (ambang batas parlemen) yang dapat menghanyutkan partai politik dari konstalasi politik nasional.

Sedangkan untuk melengkapi sistem proporsional tertutup saat digunakan penulis juga memberikan catatan. Pertama, sistem proporsional tertutup akan ideal digunakan saat partai sudah berbenah menjadi organisasi yang lebih inklusif (terbuka), semua diajak berembuk dalam menentukan nasib kader dan partai. Kekuatan tidak boleh bertumpu pada satu orang agar tidak terkesan kaku dan otoriter.

Kader harus memiliki hak yang sama dalam kesempatan memimpin, estafet kepemimpunan partai politik jangan diwariskan kemudian dimonopoli berbasis ikatan darah (biologis). Sebab partai politik bukan perusahaan yang seketika berpindah tangan tanpa ada dinamika dan mekanisme kepartaian.

Inkulisifitas partai politik juga tercermin dari sistem pengakaderan yang matang. kaderisasi harus dibenahi, jarang sekali kader yang karirnya dimulai dari bawah kemudian bergerak sampai level pengurus pusat. Ini membuktikan bahwa sistem kaderisasi partai politik terganggu.

Padahal kader yang sudah kenyang pengalaman pada level akar rumput ketika berada di tingkat tertinggi akan lebih mudah memberikan masukan karena memiliki khazanah dan pengalaman secara bottom-up. Jika catatan di atas belum berjalan, bisa jadi tidak ada jaminan sistem proporsioanal akan lebih baik dengan sistem proporsional terbuka, karena hanya akan memutar romantisme sistem pemilu masa orde baru.

Penutup

Pemilihan Umum (Pilpres dan Pileg) akan digelar dalam hitungan bulan, semua sedang menunggu sistem pemilu yang akan ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi. Setidaknya ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan saat sistem pemilu ditetapkan supaya tidak menjadi problem di kemudian hari.

Pertama, pemilu tahun ini dilaksanakan serentak, berbeda dengan pemilu sebelumnya sudah barang tentu akan menguras pemikiran dan energi ekstra.

Kedua, pemerintah harus memperkuat seluruh kelembagaan negara, karena pemilu memberikan efek perpecahan yang begitu luas di masyarakat. Lembaga negara harus menjadi penengah sekaligus penyejuk saat riak-riak perpecahan kelompok terjadi. Ketiga, persiapan penyelenggaraan yang baik. Tingginya angka kematian saat pemilu tahun 2019 harus menjadi pelajaran agar tidak terulang pada pemilu kedepan.

Kita harus mengedepankan rasa husnu ad-dzon (baik sangka) kepada lembaga yang memutuskan sistem pemilu. Semua komponen harus legowo dan positif thingking bahwa keputusan yang akan ditetapkan oleh sembilan (9) hakim MK nanti berlandaskan pada keyakinan kuat, pemikiran yang dalam, argumentasi dan pembahasan yang komprehensif.

Berubah atau tidaknya sistem pemilu kedepan belum tentu menjamin kualitas pemilu menjadi lebih baik, tetapi kita harus terus berikhtiar mendekatkan sistem pemilu kepada cita-cita kehidupan berbangsa dan bernegara, karena diterapkannya sistem pemilu yang tepat merupakan pintu masuk cita-cita itu dapat diwujudkan. Kita harus optimis pemilu yang akan datang membawa kita kearah yang lebih baik.

Sekedar meminjam bahasa pakar hukum tata negara Profesor Yusril Ihza Mahedra yang mengingatkan kita semua bahwa “sistem yang baik akan memaksa orang buruk menjadi baik, sebaliknya sistem yang buruk akan membuat orang baik terpaksa menjadi buruk”. Semoga pemilu yang akan datang akan membawa kebaiakan dan kepastian tegaknya kedaulatan bagi seluruh rakyat Indonesia. Wallahu a’lam. (* Penulis adalah Presidium KAHMI Kab.Labuhanbatu)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *