Di tengah terungkapnya kekayaan fantastis para pegawai pemerintahan, urgensi pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset kembali digaungkan. RUU yang sudah dibahas sejak 2006 itu dipercaya bisa merampas “aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber penambahan kekayaan yang tidak dapat dibuktikan”.
Pakar Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yenti Ganarsih, mengatakan RUU itu tidak hanya digunakan untuk merampas aset para koruptor, tapi juga pelaku tindak pidana ekonomi lainnya, seperti pengusutan perolehan harta dalam kasus Rafael Alun sampai harta-harta yang didapatkan dari perdagangan narkoba.
“Karena undang-undangnya namanya asset recovery, berkaitan dengan aset hasil kejahatan, jadi semua hal yang berkaitan dengan aset hasil kejahatan yang sedang diproses, diatur dan diawasi dengan baik,” kata Yenti kepada BBC News Indonesia, Selasa (28/03)
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter mengatakan RUU itu diharapkan bisa membuat pengusutan perolehan harta seperti dalam kasus Rafael Alun tidak berbelit atau bahkan tidak akan terulang di masa yang akan datang.

“Harapannya RUU Perampasan Aset bisa menjembatani norma illicit enrichment [kekayaan yang diperoleh dengan tidak sah] yang sebetulnya ada di UNCAC [Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Melawan Korupsi], tapi belum ada dalam undang-undang kita,” kata Lalola.
Saat ini, sebelum RUU Perampasan Aset disahkan, perampasan aset bisa dilakukan jika seseorang terbukti melakukan tindak pidana korupsi (tipikor) atau tindak pidana pencucian uang (TPPU). Lalola mengatakan harus ada “pembuktian pidana asal”.
Dengan disahkannya RUU Perampasan Aset nantinya, tindak pidana asal tidak lagi dibutuhkan.
Sebab, dikutip dari naskah akademik RUU Perampasan Aset, ada beberapa kemungkinan yang dapat menghalangi penyelesaian mekanisme penindakan.
Misalnya tidak ditemukannya atau meninggalnya atau adanya halangan lain yang mengakibatkan pelaku tindak pidana tidak bisa menjalani pemeriksaan di pengadilan atau tidak ditemukannya bukti yang cukup untuk mengajukan tuntutan ke pengadilan, dan sebab yang lainnya.
“Kalau ada harta-harta yang diduga berasal dari kejahatan, dugaan tersebut, salah satunya kok tidak sesuai profil pendapatannya, atau tidak sesuai dengan besaran pajak yang disetorkan dan lain-lain, itu bisa jadi dianggap sebagai dugaan tindak pidana sehingga asetnya bisa diproses,” ujar Lalola.
RUU itu bahkan memungkinkan penegak hukum melakukan “gugatan terhadap barang” yang merupakan hasil kejahatan, yang pemiliknya “sedang hilang”.
“Jadi enggak ada cerita lagi mangkrak. Seperti di Kalimantan yang kemarin ada bekas PON sekarang mangkrak, padahal biayanya banyak, kalau tidak ketemu [orang terkait] disita oleh negara nanti dilelang supaya aset-aset itu bisa berguna, tetap ada nilainya, meskipun pengadilannya belum bisa selesai atau orangnya belum bisa ditangkap,” tutur Yenti.
Dalam draf RUU Perampasan Aset yang sempat beredar pada 2015 lalu, penelusuran aset yang dapat dirampas dilakukan oleh penyidik yang bisa berasal dari kepolisian, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), maupun pegawai negeri sipil.
Penyidik dapat melakukan kerja sama dengan lembaga yang melaksanakan analisis transaksi keuangan.
Mengapa tak kunjung selesai?
Pada 2003, Indonesia menandatangani Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Melawan Korupsi dan melakukan ratifikasi dengan membuat Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006.
RUU Perampasan Aset atau yang juga dikenal dengan istilah asset recovery merupakan salah satu aturan yang harus ada ketika suatu negara sudah menandatangani konvensi tersebut.
Sejak saat itu hingga kini, Indonesia belum juga memiliki aturan hukum soal perampasan aset.
Yang terbaru, pada 8 Maret lalu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna Laoly mengatakan pihaknya sudah selesai melakukan “harmonisasi” draf RUU tersebut.
Selain Kementerian Hukum dan HAM, ada beberapa kementerian dan lembaga lain yang juga harus melakukan harmonisasi. Ketika semua kementerian dan lembaga sudah menyetujuinya, presiden akan mengirimkan surat ke DPR untuk kemudian dilakukan pembahasan.
Pada Februari 2023, Presiden Joko Widodo meminta RUU Perampasan Aset dibahas segera.
Sebagai salah satu ahli yang pernah terlibat dalam pembahasan RUU Perampasan Aset pada 2007 hingga 2010 lalu, Yenti Ganarsih menilai pembahasan RUU Perampasan Aset “sudah selesai” kala itu, tapi sayangnya RUU itu selalu keluar-masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di DPR.
“Tiba-tiba [pembahasannya] melempem 2010 itu. Di tengah-tengah pembahasan Pak SBY melemah, diteruskan lemahnya sama Pak Jokowi,” ujar Yenti.
Yenti yang pernah menjadi ketua panitia seleksi calon pimpinan KPK itu menduga ada pihak-pihak tertentu yang menghambat pengesahan RUU Perampasan Aset.
“Bukan rahasia umum kan, bahwa yang terlibat korupsi siapa? Semua yang menjadi fokusnya KPK, pejabat publik, penyelenggara negara— yang kebanyakan dari politisi, penegak hukum,” kata dia.
Ditambah lagi, kata Yenti, ada pihak-pihak di luar eksekutif dan legislatif “yang membonceng” agar RUU Perampasan Aset tidak disahkan.
Sementara itu, Lalola menduga terhambatnya pengesahan RUU ini disebabkan “pemerintah yang belum yakin” karena sejak dulu, surat presiden (supres) yang dibutuhkan sebagai tanda untuk memulai pembahasan di DPR tidak kunjung ada.

“Keengganannya bukan hanya dari sisi legislatif, tapi juga eksekutif. Makanya barulah di tahun ini itu masuk prolegnas prioritas, sehingga harapannya sudah tinggal jalan, tapi ini kita belum tahu kenapa eksekutif masih lambat,” kata Lalola.
Apa saja poin pentingnya?
Yenti menjelaskan RUU Perampasan Aset akan mengatur mekanisme mulai dari penelurusan, penyitaan dan pemblokiran aset yang diduga hasil kejahatan, sampai pengelolaan aset yang telah dirampas.
RUU Perampasan Aset, kata Yenti, mencakup hal-hal yang belum diatur dalam perampasan aset pada Undang-undang Tipikor maupun Undang-undang TPPU.
Dalam Undang-undang Tipikor pasal 18 disebutkan adanya uang pengganti, yang kata Yenti bisa disubsiderkan dengan hukuman penjara jika tak kunjung diganti. Itu berarti “uang tidak kembali”.
Begitu juga perampasan aset dalam Undang-undang TPPU, lanjut Yenti.
“Tidak ada asset recovery. Waktu sudah dirampas tidak dimaksimalkan, tidak dikelola dengan baik, bahkan hilang. Lihat Indosurya, ada beberapa yang menjadi masalah.”
RUU Perampasan Aset memungkinkan aset-aset hasil kejahatan itu diatur dan diawasi dengan baik sehingga tidak ada lagi aset yang nilainya turun, lelangnya tidak jelas, sampai kehilangan barang bukti.
Bahkan untuk aset hasil kejahatan yang, misalnya, sudah menjadi pabrik atau hotel, akan dikelola sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam RUU Perampasan Aset.
”Itu tidak bisa ditutup begitu saja, akan dikelola oleh negara, hotelnya tetap jalan, hanya pengurusannya, keuangannya, langsung diberikan kepada yang berhak. Sehingga masyarakat yang bekerja di situ tidak jadi korban.
Mereka juga bagian korban karena negara tidak tegas dan tidak cerdas waktu menganggarkan dan mengamankan anggaran itu,” kata Yenti.
Efek jera

Yenti mengatakan kondisi penuntasan kasus korupsi saat ini “tidak menjerakan” para koruptor, bahkan setelah mereka dihukum penjara.
Apalagi kondisi Lapas Sukamiskin yang secara psikologis membuat seseorang “semakin tidak takut memulai kejahatan korupsi atau mengulang korupsinya”.
“Dan semakin tidak takut lagi karena toh pasang badan, harta kekayaannya tidak ditelusuri. Kalau ada perampasan aset, no way, tidak ada lagi yang masih bisa dipertahankan,” kata Yenti.
“Jadi sebetulnya, [hukuman] pidananya tidak terlalu berat juga tidak apa-apa, yang paling penting itu rampas semuanya, ditambah denda, termasuk dirampas dari bunga-bunga yang ada,” dia menambahkan.
Senada, Lalola Easter juga mengatakan bahwa “koruptor itu memang takutnya dimiskinkan”.
Itu terbukti dalam kasus korupsi jenderal polisi Djoko Susilo, yang melakukan peninjauan kembali terhadap perampasan aset setelah dia dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi simulator SIM.
Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) Djoko Susilo terhadap perampasan asetnya, tapi dia tetap mendapatkan hukuman pidana 18 tahun penjara. Hasilnya, kekayaan yang didaparkan Djoko Susilo sebelum kasus korupsi dikembalikan.
“Karena mereka akan upayakan berbagai hal untuk mempertahankan kekayaan mereka. Jadi, kalau memang mau mencari apa kira-kira jenis hukuman yang paling menjerakan, saya menduga kuat itu pemiskinan, bukan pidana badan. Harus berubah perspektif penegak hukumnya juga,” ujar Lalola Easter. (h/sumber:: bbcindonesia)