
Oleh: * Tauhid Ichyar
Ikatan simpul rumput hasil babatan si Trisno sore kemarin kulepas, kususun berjejer, menjadi beberapa tumpukan rumput. Lalu kucampur dengan cairan dua mililiter bregadium water SA-29 setiap satu liter air minum sapi dengan perbandingan satu banding lima ratus. Terkadang dicampurkan pada konsentrat makanan sapi.
Kutarik tali kekang sapi satu per satu keluar pagar pembatas bambu jalan Abdul Haris Nasution, di pojokan lapangan rumput jalan Karya Wisata, pada kisi-kisi pagar bambu tali pengekang gembalaan kutambat.
Dua puluh ekor sapi dan tiga puluh ekor kambing satu per satu kuperiksa dengan seksama, sambil mengusap-usap kepalanya agar jinak dan tak liar ke sana kemari, memperhatikan kesehatan tiap ekornya.
Setiap hari bersama Wak Jalor dan si Tris anak yatim tetanggaku tiga bulan menjelang hari Idul Qurban tiba, semua sapi dan kambing titipan, kami gembalakan bersama.
Tris bocah kelas 2 SD ini rajin bantu-bantu kami mengurusi lembu dan kambing gembalaan. Sepulang sekolah biasanya Ia sudah datang ke tempat kami menjajakan dagangan.
Tris tidaklah dia datang begitu saja tanpa menerima upah, biasanya wak Jalor memberinya imbalan lima sampai sepuluh ribu setiap kali ia datang, lumayan juga kupikir untuk biaya transportasi dan keperluan sekolahnya.
Prihatin kami melihat kehidupan keluarga yatim ini, adiknya ada tiga orang dan seorang kakak, ayahnya lima tahun lalu telah berpulang. Emaknya kerja serabutan, sesekali jadi babu cuci, namun lebih sering jadi kuli tani, bertanam atau memanen padi didesa tetangga.
Sore kemarin Wak Dol tetangga belakang rumahku nitip 2 ekor kambing seberat lebih kurang 40 kg, yang seekor buat qurban keluarganya, seekor lagi untuk kami jualkan menjelang Idul Qurban tiba.
Beliau setiap tahun berusaha keras bisa berqurban dari beberapa ekor kambing ternaknya, walau Ia hanya seorang pedagang sayur keliling.
Ayah berputra lima ini selalu menyisihkan seekor dari beberapa ternak kambing peliharaannya. Biasanya yang berumur 5 tahun, bagus posturnya, sehat jasmaninya dan cukup memadai beratnya.
Selalu dilebihkannya dua ratus sampai tiga ratus ribu rupiah untuk kami sebagai biaya titip jaga dan gembala, lain lagi kalau laku terjual “ ini, bonus ya wak, “ ujarnya sore itu pada wak Jalor sambil menyerahkan lima puluh ribuan beberapa lembar saat kambing titipannya laku terjual. Besar sekali perasaan hatiku menerima pemberian yang terduga sore itu.
Ikatan simpul rumput hasil babatan Si Tris sore kemarin kulepas, kususun berjejer, menjadi beberapa tumpukan rumput lalu kucampur dengan campuran dua mililiter bregadium water SA-29 setiap satu liter air minum sapi dengan perbandingan satu banding lima ratus, terkadang dicampurkan pada konsentrat makanan sapi.
Kuberikan pada sapi-sapi dan kambing-kambing gembalaan kami setiap hari, hewan gembalaan menyantapnya dengan lahap. Kutuangkan lagi kedalam ember campuran bregadium water, menambahkan sebagian untuk sapi-sapi dan kambing yang masih kehausan.
Dari arah selatan jalan asrama haji mobil pajero sport hitam, berjalan pelan dan berhenti tepat di depanku.
”Assalamualaikum bang haji,” sapa si pengendara sambil membuka kaca belakang mobil kepadaku, “Waalaikumsalam“, jawabku ramah.
“Tolong carikan kambing yang bagus bang haji,….yang harganya relatip terjangkau kantong,” katanya lagi.
Dibukanya pintu belakang, lalu datang mendekatiku. Kuperhatikan penampilannya, seorang pria kantoran berpakaian rapi, berdasi dengan sepatu ferradini mengkilap.
“Kalau yang ini berapa harganya bang”, ditunjuknya seekor kambing jantan dengan berat berkisar 40 kg.
”Itu.., lima juta pak,” jawabku, sambil membuka tali kekang dan mendekatkan kambing tadi kepadanya.
”Oh…mahal juga ya bang,…bisa kurang enggak”,jawabnya lagi.
“Harga kita,… harga pas saja pak”, jawabku meyakinkan harga yang kutawarkan.
“Wah, cukup mahal juga ya bang, …ada yang harga satu juta setengah atau dua jutaan bang,” tawarnya lagi padaku.
“Masih terlalu jauh pak, di sini sapi dan kambing kita pilihan. Lihatlah posturnya, harganya sudah standar. Kita siap mengantarnya sampai hari H nya pak, beberapa hari di sini kita tetap menjaganya”, jawabku.
Apa yang kutawarkan sepertinya belum bisa diterimanya, dicobanya memilih-milih kambing-kambing lain yang kutambatkan. Selang beberapa saat seorang pria tua datang dengan sepeda ontelnya, pak Barjo, penjaga sekolah putriku Nisa.
“Assalamualikum,” sapanya menghentikan pembicaraanku dengan pria paro baya yang masih menawar-nawar kambing di sebelahku.
“Waalaikumsalam,…eh pak Barjo, apa kabar,” balasku menjawab salamnya.
”Baik Dien, …,tolong kau carikan untukku kambing yang terbaik, beratnya 40-50 kiloan, yang cantik, macam yang tahun lalu, nih uangnya,” dibukanya pelastik keresek dari boncengan belakang sepedanya.
“Hitung Dien,…ada lima juta, sekalian ni ongkos beca dan rawat sampai hari H nya,….cukup seratus ribu ya”, sambungnya lagi.
“Makasih pak, sore nanti kuantar ke rumah kwitansinya”, jawabku pada pak Barjo yang akan meninggalkanku.
“Enggak perlu kwitansi, aku perlu kambingnya Dien”, selorohnya padaku, lalu tanpa basa basi lagi ia pergi meninggalkan kami yang masih disibukan dengan tawar menawar harga. Pria kantoran melirik tajam ke arah pak Barjo yang pergi meninggalkan kami.
Sosok pak Barjo, laki-laki sederhana dan pria berdasi yang masih menawar harga kambingku, tentu mereka punya latar belakang pendidikan, pekerjaan dan status sosialnya di tengah masyarakat. Dan tentu saja sangat berbeda cara memahami qurban sebagai bentuk loyalitas total kepada Yang Maha Kuasa sebagai perintah kepada manusia.
Sosok yang satu memandangnya penuh kesungguhan dengan keikhlasan dalam memberikan qurban yang terbaik, sementara yang satu lainnya masih banyak lebih mendahulukan apakah kredit rumah, kredit mobil, biaya pendidikan anak-anak, biaya plesiran, asuransi kesehatan, asuransi haritua atau seabrek biaya lainnya dari pada harus berqurban yang hanya membeli kambing atau sapi untuk disembelih dan dibagikan kepada para dhuafa.
Qurban, merupakan tradisi tua yang telah dilaksanakan turun temurun sejak nabi Ibrahim mendapat perintah-Nya. Berqurban merupakan syariat yang meneladani Nabi Ibrahim AS dalam menjalankan perintah Alah SWT menyembelih anak semata wayangnya, Ismail. Loyalitas total yang dilakukan Ibrahim atas sebuah perintah berbuah saat mata pisau akan menyentuh putranya Ismail, kepatuhan Nabi Ibrahim digantikan dengan seekor kibas.
Dan tradisi menyembelih hewan kurban itu berlaku sampai sekarang. Tidak sedikit ummat menafsirkan bahwa menyembelih hewan kurban pada Hari Raya Idul Adha sebagai bentuk persembahan kepada Tuhan, sebagaimana kebiasaan penganut politheisme yang mempersembahkan makanan, hewan dan manusia bagi para dewa. Pemikiran seperti ini masih berlaku pada sebagian ummat.
Anggapan tersebut tentu tidak benar, sebab Allah SWT tidak memerlukan daging maupun darah hewan kurban. Daging dan darah hewan kurban itu tidak akan sampai kepada Allah SWT, sebagaimana Allah SWT berfirman: “Daging dan darah binatang korban itu tidak sekali-kali akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah amal yang ikhlas yang berdasarkan taqwa dari pada kamu…” (QS Al-Hajj:37)
Sembelihan hewan kurban yang sampai kepada-Nya adalah amal yang ikhlas karena ketundukan, kepatuhan ketaatan pada perintah sang Khaliq kepada hamba-Nya.
Menyembelih hewan kurban berarti kita loyalitas total atas perintah-Nya untuk siap berkurban sebagian atas harta yang kita sayangi. Daging hewan kurban itu nantinya tidak ditaruh di tempat-tempat suci agar diterima sebagai persembahan, tetapi dibagikan kepada fakir miskin yang sehari-hari sangat jarang makan daging karena harganya yang tidak terjangkau oleh mereka. Sementara bagi kita yang mumpuni, memakan daging adalah hal yang biasa.
Mungkin saja sebagian kita masih selalu abai dalam melaksanakan perintah-Nya, kalaupun dilaksanakan masih belum bersungguh-sungguh. Walau memiliki harta yang berlimpah tetapi masih enggan untuk memberikan kurban yang terbaik.
Semangat berkurban belum kuat bersemi dalam kalbu. Semestinya ada rasa malu kepada diri sendiri bila dibandingkan Pak Barjo yang hanya penjaga sekolah dasar tetangga belakang rumahku. Meskipun hidupnya sederhana dan apa adanya, tetapi semangat berkurbannya sungguh luar biasa.
Setiap tahun ditabungnya kiriman dari anak-anaknya, pada setiap Idul Adha dibelinya seekor kambing terbaik untuk kurban keluarga. Walau hidup pas-pasan namun semangat berkurban selalu menggelora di hatinya. Atau Wak Dollah sebagaimana pak Barjo, keduanya memberi tauladan kepada kita.
“Apalah arti seekor kambing terbaik yang hanya seharga Rp 4.500.000 – 5.000.000,- dibandingkan dengan Nabi Ibrahim as yang mampu mengorbankan putra sematang wayangnya di kala perintah kurban itu diterimanya,” gumanku dalam hati. (*Pemerhati Sosial dan Lingkungan)