Catatan: Jalaluddin Imran
Tindak pidana korupsi di negeri ini nyaris tanpa jeda. Baru saja publik dihentakkan oleh kabar tak sedap, bupati Kepulauan Meranti Muhammad Adil dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi( KPK) dalam sebuah operasi tangkap tangan( OTT). Gebrakan dadakan komisi anti rasuah itu juga menyita uang miliaran rupiah untuk dijadikan alat bukti.
Penangkapan bupati di Kepulauan Riau ini merupakan hasil operasi yang kesekian ratus kalinya oleh KPK sejak beberapa tahun terakhir. Korupsi di Indonesia seakan tak kunjung sirna, terus bergulir sedemikian rupa.
Apes yang dialami oleh bupati Muhammad Adil ini tak berselang lama dengan nasib sama yang dialami teman seprofesinya Ben Brahim S Jahat sang bupati Kapuas. Lebih gila lagi, bupati yang satu ini berbuat mencuri uang rakyat kompak bersama teman sekasur sedapurnya, Ary Egahni yang wakil rakyat di senayan itu.
Kedua bupati ini ditekuk lutut kan oleh KPK di tengah gegernya kasus yang diungkap oleh Menkopolhukam Mahfud MD yang membongkar adanya aliran pencucian uang oleh ratusan pejabat di Kementerian Keuangan bernilai fantastis ratusan triliun.
Kasus ini pun menyeret nyeret nama seorang anggota DPR- RI yang selalu galak dalam bernarasi di komplek Senayan. Orang awam seolah-olah terkesima jika mendengar sang legislator itu bernarasi yang seolah-olah demi membela rakyat yang diwakilinya.
Bahkan dia menantang Menko Polhukam membuka secara terang benderang masalah yang diungkap sembari menuding Mahfud tidak dalam kapasitasnya membocorkan perbuatan para maling uang negara itu.
Hebatnya, Mahfud yang arek Madura itu tak kalah gertak. Tantangan para anggota legislatif itu diresponnya dengan gagah berani. Maka, ketika kasus yang membetot publik di negeri yang sedang tidak baik-baik ini pun semakin gegap gempita diperbincangkan.
Setahap demi setahap mulai tersibak, apalagi mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang selalu tegas dalam menegakkan hukum itu menyatakan tak akan mundur selangkah pun untuk membuka lebar-lebar hingga tuntas masalah yang sedang membelit institusi di bawah kendali Sri Mulyani yang oleh sebagian para penjilat menjuluki sebagai srikandi bangsa.
Kebalikannya, sang bupati yang sekarang terjerat hukum pernah menyebutnya sebagai iblis. Sekarang ungkapan yang membuat hati sang srikandi itu berbunga- bunga mulai dipertanyakan, sebab sudah ada pula yang berani menjulukinya sebagai “makelar” dari sebuah institusi keuangan dunia sehingga utang negeri tak pernah surut hingga sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan.
Utang negeri yang terus membengkak itu akan menjadi “legacy” Jokowi dan menjadi beban bagi anak, cucu bahkan mungkin cicit buyut kita.
Di tengah kebisingan demokrasi di negeri yang gemah ripah loh jinawi ini pula dimana di sudut- sudut kehidupan kita menyaksikan pula rintihan dan deraian air mata anak negeri yang terjepit dan terhimpit getirnya kehidupan ini, kita menyaksikan pemandangan dan aura kemewahan yang dipamerkan oleh para pelaku korupsi.
Mereka tak punya hati, mereka tak punya empati, mereka terus menguras energi memburu rente untuk menggerogoti pundi-pundi negeri yang nafasnya kian tersengal. Dan, kita pun terus bertanya kapan korupsi akan berakhir atau mungkin tak akan pernah dapat diakhiri, semakin membumi. (***)
